Minggu, 16 Maret 2025

Beban (Filosofi jalan raya)


Suatu hari setelah acara, saya minta satu orang untuk menulis dalam bentuk artikel apa saja yang tadi dibicarakan di acara. Dia menerima, tapi protes dulu. "Udah disuruh bikin PPT, presentasi, disuruh nulis pula".

Protesnya sangat berdasar: dia berbagi ilmu tanpa dikasih imbalan apapun. Padahal seharusnya, jika melihat isi dan kualitas materinya, seharusnya dia dapat fee jutaan per satu jamnya (jika mengikuti harga narasumber di Surabaya untuk topik serupa). Laiya, berbagi ilmu itu sulit, apalagi tidak dibayar. Sudah berbagi, tidak ada imbalan, harus menyiapkan ini itu pula. Ini berat.

"Berat" di sini bisa bermakna "Beban" yang kumaksud. Di jalan raya, ada banyak sekali kendaraan. Ada motor sampai truk berukuran raksasa. Masing-masing membawa bebannya sendiri.

Jika kamu tidak bisa nyetir mobil, maka melihat sopir truk atau sopir bus dengan ukuran kendaraan sebesar itu, tentu terpikirkan bahwa itu amat berat. Saya sendiri tidak berani jika semisal diminta jadi sopir truk atau bus, meski bisa nyetir mobil. Dalam pikiran saya, kendaraan besar itu tidak hanya sulit, tapi juga membawa "Beban" yang berat. Avanza nabrak rumah, kerusakannya tidak terlalu besar. Truk gandeng nabrak rumah?

Tapi ya bagi orang yang memang berprofesi sebagai supir truk atau bus, ya rasanya biasa saja. Selain sudah terbiasa, kemampuan mereka memang sudah mumpuni. Bagi orang yang sudah terbiasa pakai motor kopling, maka lancar saja. Jika terbiasa pakai matic tiba-tiba pakai motor kopling, akan terasa sangat sulit dan berat.

Aku dan kamu, bukan kendaraan dengan jenis yang sama. Ada yang jenis kendaraan ekonomi, ada yang pendidikan, macam-macam. "Beban" yang diemban tidak sama.

Bagi tipe kendaraan pendidik seperti saya, berbagi ilmu pengetahuan seperti di setori begini sama sekali tidak berat. Padahal, saya sudah melakukannya lima tahun lebih. Ini belum di media dan tempat lain. Jika dilihat secara objektif, tentu saja berat dan melelahkan. Tapi harus ada orang yang rela mengambil risiko untuk menjadi sopir bus, truk, dan kendaraan lain.

Merepotkan ketika "Beban" itu tidak dipahami sebagai beban, tapi kewajiban yang seolah tiada risikonya, ringan atau malah enak. Bahasa umumnya, dikasih hati minta jantung. Ngelunjak.

Truk dengan muatan berat, lajunya tentu lebih lambat dari kendaraan lain. Selain karena beban berat, juga ini berkaitan dengan keamanan kendaraan itu sendiri. Menjadi kelewatan jika kita minta truk itu melaju dengan cepat dan aman. Ya cepat, ya minta bagus, ya minta murah. Manusia kan suka gitu.

Makanya, ketahui dulu jenis kendaraan apa dirimu ini.
Permintaanku ke satu orang tadi di awal, meski dia keberatan, tapi apa yang kuminta benar karena dia adalah tipe kendaraan pendidik sepertiku. Kami ditakdirkan untuk berbagi ilmu pengetahuan, suka atau tidak. Adapun dia sedikit keberatan, itu wajar sebab lumrahnya manusia ya tidak suka capek, repot.

Akan lain cerita jika kamu lari dari tanggung jawab. Selain menyedihkan, manusia macam ini selalu kuejek dengan ejekan yang spesifik: manusia payah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pergi ke mana cita-cita itu?

Anak manusia alaminya lahir dan tumbuh besar bersama impiannya. Coba tanya anak kecil. Mereka pasti punya, terlepas apakah itu logis atau ti...