Senin, 30 Juni 2025

Apa kamu ingin terkenal?

Apa kamu ingin terkenal?
Tidak perlu sungkan-sungkan. Jawab saja "Iya!"
Sekarang, mari kita kembali ke tahun 2023 kemarin.

Kejadian tahun Ialu ini menjadi contoh yang cukup sempurna. SEA GAMES 2023, ajang olahraga yang berisi banyak cabang, banyak yang meraih medali dan mengukir prestasi. Cabang renang (seperti yang paling sering diberitakan kala itu), juga dapat emas. Tapi, siapa yang peduli dengan cabang renang? Seluruh rakyat Indonesia adalah suporter sepakbola. Popularitas sepakbola adalah mutlak nomor satu. Makanya ketika konvoi itu, Timnas Sepakbola paling spesial: kendaraannya, sorak-sorai masyarakat, dll. Menjadi populer itu menarik, menakjubkan. Meskipun sama-sama juara 1, kalo ngga populer, ya dicuekin, benar kan?

Timnas Sepakbola dengan basis pendukung terbanyak sekaligus fanatik, bandingkan kemaren sebelum dan sesudah bertanding melawan Uzbekistan.
Sebelum bertanding, meme keluar penuh semangat. Dukungan penuh seluruh elemen. Setelah kalah?

Lawan Uzbek, yang paling dominan disalahkan tentu saja wasit. Kalah lawan Irak, tiba-tiba seluruh Indonesia kompak menyalahkan satu pemain Timnas yang konon bermain egois dan anti kritik.
Saya tidak sedang bicara tentang Timnas. Ini tentang efek samping popularitas.

Ini ngga beda jika kamu dikenal siswa paling pinter di sekolah, lalu ternyata kamu ngga menang olimpiade tingkat kota, jangan heran jika tiba-tiba kamu diejek seluruh sekolah, guru murid semua kecewa padamu
Popularitas, dianggap paling pinter itu, artinya mereka berekspektasi lebih: kamu ngga boleh kalah. Jika kalah? Fans berubah jadi haters.

Ini sedikit berbeda dengan bulu tangkis yang prestasinya udah jelas lebih banyak daripada sepakbola. Badminton Indonesia merupakan salah satu yang terbaik sedunia, tapi fans badminton ngga sebanyak suporter sepakbola karena badminton memang kalah populer dari sepakbola. Berita tentang badminton juga ngga rame. Kita ngga pernah liat ada nobar badminton di balaikota.
Malah ringan, ketika atlet badminton kalah, hujatannya juga minim. Malah nyaris ngga ada.

Tidak, saya tidak bermaksud mengajak agar "Jangan jadi populer". Tapi naif jika kamu tidak mempertimbangkan efek yang kusampaikan tadi. Popular itu enak, menyenangkan, duit banyak, "teman" juga banyak, tapi jangan lupa, setiap pilihan hidup itu selalu memiliki harga yang harus dibayar.

Menjadi influencer, selebgram atau selebtiktok hari ini ngga sulit, apalagi kalo kamu cewek. Yang ngga cakep aja bisa viral, apalagi yang cakep. Agak beda dengan zaman dulu, terkenal harus susah payah ikut audisi di Jakarta buat jadi pemain film, atau mikir keras bikin lagu untuk jadi musisi. Ini era keterbukaan informasi, semua bisa jadi artis.

Jika kamu terkenal, uang mengalir deras. Apalagi kalo kontenmu edukasi, kebermanfaatan ilmu juga lebih luas.

Tapi juga jangan lupa, semakin tinggi puncak didaki, semakin tipis oksigen, semakin sulit bernafas dan anginnya semakin kencang. Ini risikonya. Seperti suporter Timnas tadi, lihat di medsos sekarang bagaimana mereka ribut sendiri akibat kekalahan tim kesayangannya itu.

Jika kamu memang ingin terkenal, mentalnya amankan dulu. Kan ngga sama ya, kamu melakukan satu kesalahan kecil di dalam ruangan berisi 10 orang dengan di atas panggung dihadapan 10.000 penonton. Followers ratusan-jutaan yang ingin kamu miliki, adalah pasang mata yang melihatmu tiap kamu posting. Mereka bebas menghujat atau memujamu, sebab medsos itu berlaku hukum rimba: bebas

Tapi orang kalo populer itu ya banyak kelebihannya. Artis Olga ketika meninggal, yang datang ribuan orang. Artis populer, ngga jauh beda ketika tokoh negara atau tokoh agama kharismatik ketika wafat. Secara kuantitas mirip. Atau seorang pendakwah populer yang langsung dapat beasiswa penuh di salah satu kampus Islam di Surabaya, terlepas apakah dia dari kalangan mampu atau tidak, pinter atau tidak, populer, ini dia.

                                 Source: Pinterest

Nah, setelah sekian perjalanan yang udah kulalui, ada sedikit orang yang aneh: mereka menolak popularitas. Kehebatannya, reputasinya, semua orang tau. Tapi paradoks ketika malah berusaha menyembunyikan identitasnya sendiri. Bekerja sendirian, juga-dari salah satu yang kutanya-berniat mati dalam sepi, ngga banyak pelayat. Ada pula sebagian yang lain, ingin dikenal karya dan jejaknya saja, bukan dirinya personal: Yang kedua ini lebih umum, sebab banyak sekali mahakarya hebat itu tampil dan terkenal, sedangkan pencipta dan key person-nya malah ngga ada yang tau siapa. Emang, manusia itu selalu punya pengecualian.

Terima kasih sudah membaca 🍊








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pergi ke mana cita-cita itu?

Anak manusia alaminya lahir dan tumbuh besar bersama impiannya. Coba tanya anak kecil. Mereka pasti punya, terlepas apakah itu logis atau ti...