Senin, 30 Juni 2025

Tertinggal (?)

Aku dan kalian sudah pasti pernah merasa tertinggal dengan saudara, teman atau lainnya. Ini kubilang normal. Sangat normal. Meski tentu berpotensi besar jadi penyakit (rasa bersalah, mengutuk nasib dst).

                                Source: Pinterest

Saya cukup sering ngantar teman di bandara atau stasiun, ya untuk berangkat studi ke luar negeri
Rasa senang ketika ngantar itu beriringan dengan rasa sedih: laiya, beberapa dari mereka kok lancar kali jalannya. Sekali tembak berangkat. Saya bertahun-tahun ngga dapat. Rasa tertinggal, iri tentu ada. Malah bisa dibilang, punyaku ini sudah sampai pada level yang cukup untuk bikin saya stres. Saking banyaknya, seringnya.

Tapi, pada akhirnya itu tidak berefek apa-apa karena saya sendiri paham kalau mereka jenius dan bejo. Sedangkan saya tidak sepintar dan sebejo mereka
Di sini ada semacam penerimaan. Wajar lah.

Itu hanva akal-akalan saja. Kemampuan memanajemen emosi punyaku termasuk yang terbaik. Dengan beban emosional vang sedemikian berat, saya benar-benar bisa nampak tidak ada apa-apa. Ketika Evaluasi Akhir Tahun seperti ini, progres yang kumiliki tidak selalu buruk. Namun bila melihat temanku yang lain, saya bisa tergoda untuk kembali protes pada Tuhan.

Misalnya di antara para Pilar, saya yang paling telat ambil Master. Mana apes dapat kampus ngga bagus.
Secara usia, seharusnya saya sudah proses atau selesai S3. Orang banyak bilang, otakku seharusnya bisa lah ambil studi di sini di situ. Ini membuat "seseorang" yang ada dalam diriku tidak suka datang ke wisuda kampus. Ketidaksukaannya hampir mirip dengan masuk RS.

Sebenarnya itu wajar. Saya masa sekolah dasar dulu berhenti satu tahun. Habis lulus SMA gap year. Habis S1 gap year lagi. Usianya banyak terbuang
Jika melihat catatan, buruknya lebih banyak. Seperti pernah di satu momen yang seharusnya saya dapat sesuatu yang sangat luar biasa skala Grand Line, tapi saya diharuskan mundur dan tidak pernah diperbolehkan kembali. Semacam tidak boleh ikut masuk ke kendaraan itu. Kalau cuman mendekat boleh. Kalau mereka melaju, saya diharuskan ikut tapi jalan kaki atau lari. Padahal, seharusnya saya di sana, di dalam.

Suatu hari, satu kawan baik bilang begini:
"Saya menunggu hal baik datang padamu''

Dari beberapa momen yang lebih dalam kupahamni, tertinggal dan gagal itu fakta yang tidak bisa diubah
Fakta saya belum lanjut kuliah misalnya, fakta bahwa saya tidak menang ini ini, itu kenyataan. Sebagai manusia biasa, saya benar-benar protes ke Tuhan.

Tahu apa yang kurang?
Dua

Pertama, sabar
Saya tidak sabar atas jalan takdir yang dikasih. Sebenarnya, saya tidak benar-benar percaya dengan kalimat "semua akan indah pada waktunya" karena itu biasanya hanya omongan orang payah yang mencoba menghibur diri. Tapi, bukan karena "semua akan indah" tapi dimensi sabar itu ternyata lebih luas.

Sabar bisa dimaknai cukup banyak. Salah satunya adalah sabar itu satu adonan dengan ketangguhan.
Orang kalah lalu menerima kekalahan, lalu nanti ketika ada kesempatan itu ikut lagi, ngga kapok dan ngga menyerah, naini ketangguhan. Yaini sabar.
Seperti pohon yang hidup di tempat ekstrim, dia tangguh dan terus berusaha hidup. Inilah pohon yang sabar.

Karena, tiap orang memang tidak akan pernah punya pola hidup yang sama. Ya pantes, ada orang habis S1 langsung S2 langsung S3 karena beasiswa orang tuanya unlimited. Tidak sama dengan yang harus kerja dulu nabung atau belajar keras buat dapat beasiswa. Ini contoh kecil, dan contoh ini nyata banyak.

Kesalahanku dulu, tidak sabar dalam melihat rentang hidup atas proses. Ya sama kayak beberapa dari kalian yang pasang target usia sekian harus nikah, bikin buru-buru dan asal pilih. Seolah ketika target itu terlewat dan belum tercapai, menjadi kegagalan.

Saya sudah melihat banvak cerita manusia di banyak tempat. Jika boleh saya simpulkan secara kasar, apa yang disebut "nikmat" itu dibagi secara proporsional
Sulit dibilang "adil" dalam kacamata manusia. Karena ya ngga bakal pernah puas dan merasa adil. Contoh mudah, ada yang ekonominya agak susah, tapi tidak punya penyakit sama sekali. Ada yang duitnya banyak banget, tapi kesehatannya bermasalah.

Hasil atas kontemplasi yang intens itu membuatku lega. Saya bilang,
"Mas, kamu dari kemarin ngga sabar. Sekarang, ayo jadi orang yang sabar''

Itu diputuskan sekitar pertengahan 2021
Jika seandainya saya adalah pohon yang tidak punya daun dan bunga yang cantik, gapapa. Bahkan tanpa buah manis pun gapapa. Saya hanya harus terus tumbuh. Perkuat batang, perdalam akar. Kupastikan ketika badai paling dahsyat, saya sendiri yang tidak tumbang. Tetap tegak, karena meski ngga berbunga cantik, tapi kayunya punya kekuatan super. Kira-kira begitu.

Kedua, ini lucu: saya tidak punya cukup kadar keberuntungan
Makanya, ucapan kawan tadi itu benar. Ini hanya soal waktu.

Seperti kata Kapten Roger, nanti akan datang gilirannya
Menurutku, ini masih bisa diterima karena saya belum berusia 50-an. Seharusnya, ada nanti sedikit kesempatan saya bisa bertarung di New World.

Jadi, siapa yang tertinggal sekarang?
Ya saya sendiri. Cuman sekarang, saya sudah sepenuhnya bebas dari rasa sedih atau merasa dunia tidak adil. Apalagi, apa yang sudah kulalui dalam rentang 2 tahun terakhir ini sebenarnya alur yang ajaib.

Yang ingin saya sampaikan sekarang: protes ke Tuhan saja kalau memang kamu merasa tertinggal, ngga bejo dan apes terus. Minta saja ganti yang lebih baik
Masalahnya, "ganti" ini seringkali tidak disadari. Kesempatan, kesehatan, ortu yang utuh dan baik, karir, teman yang baik, ngga ada pakemnya.

Protes itu berisi, "Yowes, aturen!" dengan tetap konsisten di jalan yang sedang diperjuangkan
Lebih jauh dari sekadar mindset, ini adalah bentuk ketegasan bahwa mustahil hari hujan terus. Yakali apes terus. Pun jika memang begitu, ada kemungkinan nanti keberuntungan dan kebaikan diterima oleh keluarga atau orang yang kita sayangi. Seharusnya itu bukan hal yang buruk.

Kalau versi kawan lama: vakan sekarang ketinggalan, biasa saja. Lihat siapa yang lebih hebat nantinya
Apa kamu tidak jadi pengurus organisasi top? Tidak punya piala besar? Tidak punya jabatan tinggi? Bukan mahasiswa kampus top? Untuk sekarang, terima saja. Ya emang begitu, mogimana. Progresnya, ini yang penting. Lihat 5-10 tahun lagi, siapa yang lebih hebat?
Atau memang cuman ingin jadi NPC saja, ya pilih.

Meski saya ngga sehebat teman-teman saya tadi, tertinggal di beberapa aspek, tapi saya sekarang juga bukan orang yang bisa kalian rendahkan. Seharusnya yang pernah ketemu saya langsung tahu itu
Ini yang kuajarkan ke anak-anak: jadilah kuat. Keren. Saya akan memastikan ketika duduk dengan para akademisi univ dunia, saya bisa imbang dalam penguasaan ilmu dan keluasan referensi. Lagian, orang kalau dianggap hebat itu ngga lagi penting dulu kuliah di mana. Serius.

Terima kasih sudah membaca 🍊





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pergi ke mana cita-cita itu?

Anak manusia alaminya lahir dan tumbuh besar bersama impiannya. Coba tanya anak kecil. Mereka pasti punya, terlepas apakah itu logis atau ti...