Sabtu, 14 Juni 2025

Pengalaman penting: Ilmu & Manusia



Sebelumnya, perlu diingat bahwa ada dua yang terpenting: ilmu dan manusia
Ilmu yang menunjang karir dan kehidupan masa depan, kemampuan untuk bekal bertahan hidup
Manusia yang baik, sebab seperti yang selalu kubilang, teman baik itu susah dicari. Kamu bisa beli apapun, ngopi di mana pun, kuliah di mana, tapi tidak bisa mengulang momen berharga karena manusianya tidak lagi sama.

Dulu saya ambil pendidikan diploma dengan sistem yang menarik. Saya menyebutnya Kasta Pendidikan.

Kelas diurut berdasarkan nilai akademik (nilai ujian dl), kedisiplinan di kampus, di asrama, dst. Kelas A adalah kelas terbaik dari yang terbaik. Isinya tidak hanya para jenius, tapi juga mereka yang punya kedisiplinan dan keteladanan super. Kelas B otaknya setara dengan kelas A, tapi bermasalah di kedisiplinan, kurang teladan, kurang menaati aturan, begitulah. Semakin bawah kelasnya, semakin rendah kualitasnya. Kasarnya, kelas atas itu isinya anak pintar, kelas bawah tidak pintar.

Sebagai anak ambis, tentu saya mati-matian mengincar masuk kelas A. Tiap 2 bulan, kelas dirombak. Kamu yang semula kelas A bisa anjlok ke D, begitu sebaliknya. Semua kembali ke nilai dan kedisiplinan tadi. Seru sekali, karena melihat pengumuman masuk ke kelas mana, apakah tetap, naik atau turun itu sama seperti melihat papan pengumuman kelulusan UN atau masuk PTN.

Saya berambisi untuk jadi yang terbaik. Ingin kubuktikan bahwa saya bisa masuk ke kelasnya para jenius. Sejak awal masuk, sudah saya ketahui jurang perbedaan saya dengan mereka. Penghuni kelas A itu benar-benar di luar nalar. Bukan tanpa alasan kenapa kubilang Kasta, karena siapapun yang masuk kelas A itu selain dihormati, keren, juga disegani. Mereka amat layak mendapatkannya. Perbedaannya denganku sangat jauh. Makanya, saya mulai belajar sangat keras.

Selain ambis di itu tadi, saya juga gabung BEM dan memimpin divisi Infokom. Tak lama kemudian menjabat Pimpinan Redaksi, PJ UKM Literasi, PJ kegiatan resmi kampus tiap Sabtu pagi (semacam muhadlarah kalau di pondok, saya lupa namanya). Jangan lupa, itu belum termasuk kegiatan di asrama
Mudahnya, ketika itu saya benar-benar sibuk. Ya sibuk belajar karena ngejar nilai, ya sibuk berorganisasi dan tanggung jawab besar lainnya. 

Dengan kepadatan seperti itu, sangat kunikmati. Saya benar-benar menyukainya. Hari-hari begitu padat. Sabtu-Minggu yang seharusnya libur bisa santai, saya gunakan untuk belajar dan menuntaskan tugas organisasi. Saya ingat waktu itu saya minta les privat ke Miss Timor tiap weekend. Miss Timor ini adalah lulusan terbaik angkatan kami. Berotak super. Dialah yang mengajari saya di kelas tambahan itu.

Tapi, ada yang terlewat. Sesuatu yang nampak sepele, nampak biasa, namun begitu berarti.

Di Kampung Inggris itu ada istilah Gather. Ini semacam kultur khas di sana. Gather itu kita pesan satu tempat di cafe, tempat makan atau semacamnya. Satu kelas ikut semua, bahkan tutornya juga ikutan. Pesan makan minum, lalu main game, tukar cerita, saling mengakrabkan diri. Pokoknya seru-seruan.

Di awal-awal, kulihat Gather ini adalah "kegiatan yang tidak berguna". Kan iya, buang uang buang waktu. Mending belajar, mending istirahat.

Setelah ambisiku terpenuhi, "Lalu apa?". Saya merasa ada titik kejenuhan. Benar, sudah keren, terkenal, dihormati, tidak ada yang meremehkan lagi. Ketika sudah di puncak (meski ini berlebihan, tapi anggap saja begitu), diriku merasa ada yang kurang. Terlebih terlalu terlibat di BEM dengan sekian drama politiknya, membuatku memancing banyak musuh.

Kemudian, saya bergeser. Mulai saya kurangi beban organisasi. Pelan-pelan kulepas. Belajar juga kubatasi, tetap fokus dan serius selama 5 hari full, tapi weekend saya kosongkan. Saya mulai sering ikut Gather kelas atau asrama. Ikut bakar-bakar ayam di asrama. Sesekali main ke Gumul, ke Kelud, ke Batu kalau weekend. Lebih sering ngopi dengan semua orang, entah dia kelas A kelas D semuanya gas. 

Ambisi itu penting. Berorganisasi, jadi "pejabat" di suatu organisasi, belajar tekun demi nilai akademik, semuanya penting. Butuh fokus, waktu, tenaga. Tapi, melakukan "hal yang tidak berguna" seperti ngopi, ngobrol ngga jelas dengan teman-teman itu yang malah membekas di hati. Rasanya indah dan menyenangkan, padahal sepele.

Dengan belajar giat dan berorganisasi, saya dapat bekal ilmu bahasa, ilmu manajemen dan banyak lain. Ini yang menunjang karir saya sampai saat ini
Namun tak lupa, orang-orang yang kukenal baik di asrama, di kelas, di warung kopi, di Gather itu juga tak kalah penting. Tahu kenapa saya punya sebegitu banyak koneksi dengan orang hebat? Ya itu, sering ngopi.

Pada akhirnya, piala, sertifikat kejuaraan, penghargaan, itu tentu keren dan membanggakan. Di CV bisa kuat dan menjanjikan. Tapi, itu pada akhirnya hanyalah selembar kertas. Mentok dipajang di dinding. Udah. Kamu juara internasional tahun 2020, tahun ini orang udah ngga bahas lagi. Udah lupa. Kamu ketua BEM ketua HIMA dll masa kuliah, satu bulan setelah lulus, udah ilang. Ngga ada yang peduli. Artinya, meski penting, tapi itu semua amat terbatas.

Apa yang lebih berguna dalam jangka panjang Pertemanan

Teman sekamar saya, Mr. Fanani yang kemudian juga jadi partner di BEM, di redaksi, bertarung bersama di lomba debat. Dia orang Tangerang yang kuanggap saudara sendiri. Ketika dia insomnia, saya menemaninya begadang. Ketika mataku kena infeksi parah, dia bonceng saya perjalanan 90KM lebih motoran ngantar ke rumah.

Sudah bertahun-tahun sejak kelulusan, tiap saya ke Tangerang atau Jakarta ya dia yang kutelepon pertama. Idulfitri kemarin dia dengan istri dan anaknya main ke rumahku. Bukan piala kemenangan lomba, bukan piagam penghargaan, tapi hubungan persaudaraan seperti inilah yang jauh lebih berharga.

Ada banyak sekali nama yang bisa kusebut
Momen Gather, maen, ngopi, itu penting. Akan menemukan orang-orang yang kelak bisa jadi saudara dekat dan berlaku selamanya. Pengen jadi ketua biar keren? Gampang. Pengen dikata hebat karena menang lomba? Organisasi, event lomba, itu selalu ada. Tinggal pilih. Tapi menemukan orang baik itu lebih susah daripada ngejar jabatan Ketua Umum.

Makanya, ambis itu tetap perlu. Tekun dan keras dalam belajar juga harus. Tapi, jangan datang ke kelas-pulang. Jangan juga terlalu ngaktivis ropat-rapat sana sini. Kamu juga harus ngopi lesehan di trotoar sambil gitaran, sambil guyon, deep conversation dengan teman yang bijak, sesekali main ke pantai ke taman bersama mereka.

Malah, ketika saya kuliah di Surabaya, saya sudah menghentikan segala bentuk kegiatan politik dan organisasi. Hanya ikut 1 UKM besar dengan status anggota biasa. Selebihnya ya ngurus komunitas yang kudirikan, BSA yang masih baru. Sisanya? Kupakai baca buku sebanyak mungkin. Hafalan, latihan nulis, latihan ini itu, ilmu kukejar dengan maksimal. Tapi ketika itu juga tiap hari saya sempatkan ngopi, mabar di warkop, sesekali main ke Malang ke Bandung.

Carilah ilmu dan teman sebanyak mungkin. Itu yang utama.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pergi ke mana cita-cita itu?

Anak manusia alaminya lahir dan tumbuh besar bersama impiannya. Coba tanya anak kecil. Mereka pasti punya, terlepas apakah itu logis atau ti...