Minggu, 16 Maret 2025

Untuk yang Masih Sekolah dan yang Masih Baru Masuk Kampus


Terlalu sayang organisasi itu akan berakhir tidak baik. Angka ini nyaris 90% kejadiannya dibanyak tempat, tidak cuman dikampus saja. 

Ada cukup banyak tipe orang yang kalau dikasih tanggung jawab (seperti jabatan organisasi) dia tidak bisa nolak, tidak enakan atau karena memang kompeten. Setelah diterima, rasa tanggung jawab ini membuatnya all-in dan merasa harus mengerahkan semua yang dia miliki untuk organisasi itu. Itu adalah kebaikan yang bodoh. 

Organisasi itu bersifat transaksional, boleh tidak sepakat, tapi apapun argumentasi yang kamu lawan, tidak akan bisa mengalahkan statment ini. 

Ibaratnya, kamu mampir ke warung beli makan. Bayar 20k dapat sepiring dan minum. Jelas ya. Setelah habis dan bayar, ya selesai. Itu bukan warungmu. Jika misal token listrik warung itu, wifi atau air galonnya habis, yaitu urusan pemilik warung, bukan kamu. Bisa dipahami?. 20k tadi, adalah transaksi mengikat ke warung : kamu bayar, warung wajib kasih sesuai harga. Kamu di organisasi, sama : terikat waktu yang disebut masa jabatan. Kalau dikampus biasanya satu tahun (2 semester), ini durasi mengikat. Tidak kurang tidak lebih. 

Sesuai jobdes atau jabatan, kan jelas ya kalau kamu jadi bendahara, ya tugasnya ini, sekretaris ini, dst. Ini disebut batasan. Tapi kalau rasa terlalu sayang muncul, kamu akan merasa perlu untuk mengatasi semua permasalahan. Kamu jadi divisi humas, ada dana kurang ikut pusing, ada acara molor ikut rame, kebersamaan? Ehehehe. 

Terlalu sayang biasanya lahir dari dua hal : merasa sudah paling penting disana dan merasa kamu paling mampu disana. Berakhir, sering rapat, sering kesana kemari menyelesaikan ini itu demi organisasi, berakhir kurang istirahat, bolos kelas kuliah. Sikap All-in ini melahirkan satu penyakit MERASA BERJASA. Ini penyakitnya. Lalu, kalau ternyata juniornya tidak hormat. Ngamuk. Merasa berjasa, tumbuh ekspetasi kalau organisasi pasti kasih dia banyak hal (misal mengucapkan atau kasih hadiah ketika ultah atau wisuda). Kalo iya, ya bagus. Kalo nggak? Makan ati. Muncul perasaan tidak dihargai, lalu muak dan marah-marah sendiri. 

Laiya, yang nyuruh all-in sejak awal siapa? Warung tadi kalo token listriknya habis, ya urusan dia. Kamu pelanggan ngapain repot-repot ngisiin? 

Tapi sebenarnya, terlalu sayang justru merusak oraganisasi itu sendiri. 

Saya punya cerita tentang mahasiswa, sebut saja Eko. Dia merupakan demis dari organisasinya. Anaknya hebat, all-in tadi, pencapaiannya juga ngga bisa dianggap remeh sebab masa kepimpinannya, organisasi itu bisa meraih banyak hal besar. Masalahnya, merasa hebat ini membuatnya nampak selalu memantau kepengurusan setelahnya, bahkan setelah bertahun-tahun. Jadi kalo ada hal yang dia anggap ngga beres disana, dia telfon ketua umumnya. Intervensi alumni ke mereka yang masih aktif ini merupakan sebuah kebodohan dan kesalahan fatal sekali.

Bisa dilihat, si hebat yang udah selesai masih ikut campur, membuat generasi muda ngga bisa gerak. Kasian sekali : rasa sayang yang tang justru mengekang. Ini bisa dipake acuan : nanti kalo kamu masuk organisasi yang mode budayanya madih foedal seperti itu, maka kupastikan itu bukan organisasi yang sehat. 

Pemegang "kuasa" tertinggi ya ketum. Titik. Pengurus aktif. Kok ada "mantan" pengurus yang masih utak-atik, ya tandanya kulturnya ngga beres. 

Kalian jangan begitu ya. Daftar, ikut, kalo emang jadi pengurus, urusi dengan baik dan bertanggung jawab tapi tahu batas. Prioritas utama adalah kuliah, rapat nomor sekian. Jangan terlalu sayang sampai mengerahkan semua ke sana : ntar capek sendiri, kecewa sendiri. 

Saya sarankan minimal ikut ya, satu organisasi kampus yang kamu sukai. Niatkan cari teman yang banyak disana. Ada acara misal apa silakan ikut, biar masa kuliah ngga hampa cuman kuliah-pulang. Tahu batas. Kalo pada rebutan ketus, saling jegal berantem, ngga usah ikutan. Duduk aja nyimak dibelakang, karena ingat itu bukan warungmu. 

Kalo ditulis lebih ekstrim : bahkan jika organisasi itu hancur sekalipun, kamu sebenarnya ngga rugi apa-apa. Apalagi kalo intra kampus (UKM), itu dibawah naungan resmi kampus itu sendiri. Aman lah. 

Jadilah anggota yang tetap mengutamakan kepentingannya diri sendiri diatas kepentingan organisasi. Jangan kebalik. Tapi kalo kamu ragu dengan apa yang kutulis, silakan simpan catatan ini dan kembalilah 3-5 tahun ke depan, apakah yang saya sampaikan ini benar atau salah setelah kamu masuk dan lihat kesana. 

Yang paling kuat tentu saja ikut event, entah lomba, volunteering, magang, dan semacamnya. Perhatikan levelnya: kalo itu level provinsi ke atas, maka itu sangat-sangat kuat. Saya kasih contoh. Misal kamu mahasiswa terbaik UGM , asli ini ngeri sekali. IPK bulet 4.0, ngga bisa diremehkan. Untuk jenjang selanjutnya misal kerja atau S2, tentu sangat menunjang. Sekarang saya tanya, kuat mana wisudawan terbaik itu dengan Terbaik 1 Nasional Olimpiade Fisika? 

Mari kita pakai sudut pandang rektorat. Tiap tahun pasti lah ada wisudawan terbaik. Pasti. Ketika wisuda, namanya akan disebut dan naik panggung. Tentu Rektor dan Guru Besar serta seluruh civitas academica akan tahu, "oh si Eko ini wisudawan terbaik". Tapi, mahasiswa kampus tersebut yang bisa menyabet juara nasional tentu ngga mesti ada tiap tahun. Disini impresinya beda. 

Maksudku gini, sebaiknya kita ambil ruang lingkup yang lebih gede. Ngga masalah kalo emang kamu ngga bisa dapat wisudawan terbaik, IPK bulet, 3.5 sebenarnya udah cukup lah (angka minimal untuk beasiswa). Yang harus kamu raih sebenarnya adalah prestasi, minimal tingkat provinsi. Percaya sama saya. 

Pernah saya dengar, seorang mahasiswa lebih memilih untuk fokus kuliah agar IPK nya ngga anjlok dan meninggalkan ikut event lomba di provinsi. Wah, ini sangat disayangkan. Dia ngga paham, kalo lomba resmi seperti itu ada surat dispensasi. Artinya kuliahnya ngga bakal kena masalah, apalagi PTN. Pun jika seandainya dia juara provinsi, karir masa depannya jauh lebih terbuka. Kalo udah bicara prestasi, akan melekat selamanya. Lebih kuat dari jabatan organisasi atau IPK bulet. 

Katakanlah kamu terpilih jadi ketua himpunan mahasiswa di prodi, fakultas bahkan DEMA, wih kan keren sekali. Kuat sekalia. Tapi mari kita cek, prodi Sejarah misalnya, coba temui mahasiswa di prodi ini secara random, tanya siapa ketua prodinya, ketua fakultas atau ketua DEMA kampusnya. Kecil kemungkinan dia tau. 

Maksudku, daripada habis energi rebutan jabatan ketua, mending habis energi buat ikut lomba tingkat nasional. Kalo kamu emang mencari popularitas, jadi ketua memang keren dan terkenal, tapi lingkupnya sempit. Kalo meraih gelar juara nasional apalagi internasional, seluruh negara tau. 

Tapi tentu ini susah. Mengembangkan diri via jalur ini artinya usahanya harus lebih. Tapi kuat hasilnya. Ikut volunteer Gerakan Indonesia Mengajar ke Sulawesi atau NTB misalnya, ini sangat kuat di CV. Tapi untuk bisa masuk ke sana tentu seleksinya ketat ya. Prestasi itu nempel selamanya.

Kejar prestasi, skill yang diakui secara sah akan sangat kuat untuk masa depan. Contoh, Microsoft punya sertifikat resmi bagi siapapun yang menguasai Office (Microsoft Excel, Word dst). Berdasarkan cerita warga Quora, dia yang punya sertifikat resmi ini, apply kerja sebagai tenaga administrasi ke kantor-kantor besar ngga pake ribet. Kalian kan bisa seenaknya ngaku jago Excel kan? Buktinya?

Okelah, ngga juara nasional. Ngga pernah jadi ketua umum. IPK standar dari kampus pelosok kecil yang bahkan di Google Maps ngga ada, Tapi kalo kamu punya sertifikat IELTS 8.0, waduh, ngeri sekali ini.

Sangat tidak bijak jika kuliah cuman dipake kuliah-pulang, sayang sekali. Mumpung menyandang status mahasiswa, entah sambil kerja atau apapun itu, pastikan kamu bangun reputasi untuk dirimu sendiri. Khidmah? Jodoh? Nanti dulu. Fokus ke input. 

Catatan Kapten! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pergi ke mana cita-cita itu?

Anak manusia alaminya lahir dan tumbuh besar bersama impiannya. Coba tanya anak kecil. Mereka pasti punya, terlepas apakah itu logis atau ti...